Agama dan Konflik Sosial  

Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiah karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalan menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merupakan budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem mendasar yang belum terselesaikan, menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam perilaku kebudayaan di pihak lain.
Instrumen integratif
Terjadinya konflik sosial yang berlindung di bawah bendera agama atau mengatasnamakan kepentingan agama, bukan merupakan yustifikasi dari doktrin agama, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakjelasan hubungan antara agama dan kebudayaan.
Telah banyak sarjana yang mengkaji hubungan antara agama dan kebudayaan. Pada satu sisi, agama selain sebagai sumber moral dan etika serta bersifat absolut juga bersifat a-historis. Pada sisi lain, agama bisa bersifat historis dan berubah menjadi sistem kebudayaan, yakni ketika wahyu itu direspon oleh manusia atau mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistem kognisi manusia. Interest kognitif manusia itulah yang menyebabkan wahyu dan agama berubah sifatnya menjadi relatif dan profan.
Dalam konteks ini agama disebut sebagai gejala kebudayaan. Sebagai sistem kebudayaan, agama menjadi establishment dan kekuatan mobilisasi yang seringkali menimbulkan konflik. Di sinilah ketika agama (sebagai kebudayaan) difungsikan dalam masyarakat secara nyata, maka akan melahirkan realitas yang serba paradoks. Di satu sisi agama dapat dijadikan sebagai instrumen integrasi, tetapi pada sisi yang lain agama ternyata dapat menjadi faktor disintegrasi.
Dalam konteks sosial, hubungan fungsional antara agama dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang rasional dan humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, dapat disebut sebagai suatu historical force yang turut menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator pencegah terjadinya disintegrasi dalam masyarakat. Dan lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan. Sosiolog Peter L Berger (1991) mengemukakan hal yang sama, bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu bersifat kontekstual, yakni memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden. Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger dikatakan dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga mengakui agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat secara efektif. Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
Meskipun kebenaran agama itu abadi, tetapi agama tetap historis, mudah menjelma dalam pergolakan hidup manusia. Fakta menunjukkan bahwa agama ternyata tak mudah bekerja sama dengan sejarah. Dalam realitas obyektif, faktor agama menjadi faktor ancaman yang paling serius dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan terlebih lagi bagi masyarakat yang serba majemuk seperti Indonesia. Krisis sosial yang kemudian meluas menjadi konflik dalam skala nasional, lebih banyak bersumber pada masalah agama ini. Agama seolah menjadi faktor latent bagi bahaya disintegrasi sosial.
Perlunya kewaspadaan
Konflik sosial yang berselimutkan agama sesungguhnya terjadi karena adanya political interest tertentu, misalnya kekuasaan. Di sinilah perlunya kesadaran dan kewaspadaan terhadap pihak-pihak tertentu yang menyustifikasi agama bagi kepentingan kekuasaan, terutama pelembagaan agama terhadap struktur formal, sebab secara historis agama memang merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif.
Bahkan konflik sosial berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sangat potensial dan mudah menjadi anarkis, sehingga masalah ini harus menjadi perhatian semua pihak terutama para politisi dan agamawan. Indonesia bukan negara agama, tetapi memiliki basis agama yang kuat. Jika terdapat pihak-pihak tertentu yang mencoba mendorong terciptanya pertentangan antaragama, maka Indonesia akan mudah tercabik-cabik. Dalam sejarah bangsa-bangsa telah merekam sejumlah peristiwa yang menyambut pertentangan antar-agama, yang akhirnya memporak-porandakan tatanan kemasyarakatan yang ada, bahkan bangunan peradaban umat manusia sendiri. Pluralitas agama, etnis dan budaya seolah menjadi penyebab yang sifatnya permanen atas terjadinya konflik-konflik di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Contoh yang paling faktual adalah konflik di Bosnia Herzegovina, Kosovo, yang karena perseteruan etnis dan agama, seluruh tatanan sosialnya lalu tercabik-cabik.
Indonesia yang konfigurasi kulturalnya sama dengan negara-negara tersebut, seharusnya dapat menarik pelajaran berharga. Ideologi Pancasila harusnya mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan kelompok sosial yang multi-etnis dan agama ini. Termasuk dalam hal ini ideologi Pancasila yang bersifat terbuka, harus memberi ruang terhadap berkembangnya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seyogianya bisa ditemukan suatu sintesis harmonis antara pluralitas agama dan kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
Kiranya sangat penting, para politisi dan penganut agama untuk merenungkan arti perubahan yang mereka alami dan merenungkan dalam situasi dan perspektif baru. Agama akan memainkan peran penting dalam memenuhi arti kehidupan dan tujuan hidup manusia, sekaligus menjadi kohesi sosial dalam masyarakat. Sebaliknya, mengabaikan peran penting agama dalam masyarakat akan menciptakan kegagalan dan menghadapi kesulitan dalam mengatasi perubahan sosial

Read More...
AddThis Social Bookmark Button